Buku
ini diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1922. Buku ini
berhasil menempatkan diri sebagai puncak roman di antara roman-roman lain yang
dianggap orang sebagai puncak roman dalam Sastra Indonesia Modern.
Penilaian
itu tidak didasarkan pada temanya, tetapi berdasarkan pemakaian bahasa dan
gayanya yang tersendiri. Karena terkenalnya sampai-sampai zaman itu dinamai zaman
Siti Nurbaya. Selain itu, karya Marah Rusli ini berhasil pula merebut hadiah
tahunan dalam bidang sastra, yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia
pada tahun 1969.
Buku
bersejaran ini menceritakan kehidupan Siti Nurbaya dan Samsulbahri, yang sejak
kecil tinggal berdekatan rumah dan menjadi teman sekolah. Setelah meningkat
remaja, keduanya saling mencintai dan mendapat restu dari kedua orang tua
mereka. Samsulbahri kemudian melanjutkan pelajarannya ke Sekolah Dokter Jawa di
Jakarta.
Baginda
Sulaiman, ayah Siti Nurbaya, karena jatuh dalam perdagangannya, terpaksa
meminjam uang kepada Datuk Maringgih, seorang orang tua yang kaya dan kikir. Karena
tidak dapat melunasi utangnya, Siti Nurbaya terpaksa mau menikah dengan Datuk
Maringgih
Pada
suatu hari ketika Samsulbahri dalam liburan kembali ke Padang, dia dapat
bertemu empat mata dengan Siti Nurbaya yang telah resmi menjadi isteri Datuk Maringih.
Pertemuan rahasia itu diketahui oleh Datuk Maringgih sehingga terjadi
keributan. Mendengar itu, ayah Samsullbahri yang kebetulan menjadi penghulu
kota Padang pada waktu itu, merasa malu atas perbuatan anaknya. Maka diusirlah
Samsulbahri dan tidak diakui anak.
Samsulbahri
kemudian kembali ke Jakarta, Sedangkan Siti Nurbaya sejak kejadian itu secara
sembunyi sembunyi menyusul pergi ke Jakarta. Tetapi niatnya itu kemudian
diketahui oleh kaki tangan Datuk Maringgih. Karena itu dengan siasat dan
fitnahnya, Datuk Maringgih dengan bantuan kaki tangannya berhasil pula memaksa
Siti Nurbaya kembali ke Padang dengan perantaraan polisi.
Tak
lama kemudian Siti Nurbaya meninggal karena makan lemang beracun yang sengaja
dijajakan oleh kaki tangan Datuk Maringgih, Kematian Siti Nurbaya itu terdengar
oleh Samsulbahri sehingga ia menjadi putus asa dan mencoba melakukan bunuh
diri; tetapi mujurlah ia tidak meninggal. Sejak itu Samsulbahri berhenti bersekolah
dan memasuki dinas militer.
Beberapa
tahun kemudian di Padang terjadi kerusuhan, karena rakyat menolak membayar
pajak yang dipaksakan oleh pemerintah jajahan. Untuk memadamkan pemberontakan
itu, pemerintah Hinda Belanda mendatangkan pasukan dari Jawa. Dalam pertempuran
itu, Datuk Maringgih yang mendalangi pemberontakan tersebut berjumpa dengan
Samsulbahri yang pada waktu itu dengan pangkat dan nama Letnan Mas ditugasi
memadamkan pemberontakan tersebut. Dalam pertempuran itu Datuk Maringgih kena
tembakan pestol Letnan Mas, tetapi sebelum ia meninggal masih sempat
mengayunkan parangnya dan mengenai diri Letnan Mas, sehingga terpaksa diangkut dan
dirawat di rumah sakit.
Letnan
Mas minta kepada dokter yang merawatnya agar dipanggilkan penghulu kota Padang
yang bernama Sutan Mahmud Syah. Ketika Sutan Mahmud Syah mengunjunginya, Letnan
Mas menceritakan riwayatnya sampai menghembuskan nafas yang penghabisan. Ketika
Letnan Mas meninggal, barulah Sutan Mahmud Syah tahu bahwa orang yang
dihadapinya berbicara dan telah meninggal itu tidak lain adalah anaknya sendiri
yang bernama Samsulbahri. Karena sesal dan sedihnya, maka meninggallah pula
Sutan Mahmud Syah beberapa hari kemudian.
sumber: Buku sastra Masa Kebangkitan, Soekono Wirjosoedarmo, 1989
sumber: Buku sastra Masa Kebangkitan, Soekono Wirjosoedarmo, 1989
No comments:
Post a Comment